Seminggu menjelang
libur panjang kuliah berakhir, saya dan Mimi menyempatkan untuk memancing di Danau
Taman Hidup, Gunung Argopuro (orang Bremi menyebutnya Taman).
Saya berangkat tanggal 11 pukul setengah 5 sore dan sampai di rumah Mimi di desa Bremi sekitar pukul setengah 6. Kemudian makan malam
dan membenarkan pancing untuk esok hari. Sekitar jam 11 malam saya tidur. Pukul
setengah 4 bangun. Memasukkan segala perlengkapan dan bekal ke dalam daypack. Pukul setengah 5 kami
berangkat. Perjalanan dimulai.
Tidak jauh kami melangkah, sekitar
200 meter dari rumah, kami melihat cahaya berwarna merah seperti bintang jatuh
yang menghilang begitu saja. Untuk dikatakan bintang jatuh, cahaya itu terlalu
kecil. Kalau kata orang-orang, cahaya itu berasal dari ilmu santet. Ada pendapat
lain? Kami terus melangkah melewati ladang warga.
Pukul 5 kami masuk Hutan Pohon
Damar. Waktu tempuh yang lumayan cepat karena tidak membawa carrier. Sekitar 20 menit menyusuri
Hutan Damar, kami mulai masuk hutan dan cahaya matahari mulai menyingsing. Suara
kicau burung yang bersautan menyambut kami. Sesekali kami melihat beberapa lutung Jawa
yang berada di atas pohon. Kami juga melihat yang berwarna emas (entah lutung
atau monyet). Beberapa kali pula terdengar suara babi hutan. Di sepanjang jalur
pendakian, kami melihat bekas ban motor. Ayo tebak motor siapa?
Sebelum memasuki kawasan suaka
margasatwa, ada portal yang baru dipasang untuk mencegah terulangnya kembali kejadian
beberapa waktu lalu. BBKSDA sempat kecolongan, motor cross masuk ke Taman Hidup.
Dengan waktu
tempuh sekitar 3 jam, kami sampai di Taman Hidup setengah 8. Cuacanya sedang cerah,
puncak Argopuro yang berdampingan dengan puncak Arca megah terlihat. Kami
segera menuju dermaga di tepi danau untuk sarapan karena perut sudah
keroncongan.
Setelah sarapan, kami pasang umpan. Umpan yang kami gunakan adalah
mi instan. Kata Mimi yang pernah mancing di sini, ikannya lebih suka makan mi
daripada cacing. Bagaimana bisa ikan di danau suka mi, sedangkan mi tidak
dihasilkan oleh alam. Ada yang bisa bantu menjawab?
![]() |
Danau Taman Hidup |
Tidak lama
berselang ikan pertama kami dapatkan. Kemudian beberapa ikan yang lain berhasil
kami tangkap. Jenis ikan yang berhabitat di Danau Taman Hidup ini adalah ikan tombro.
Hanya ada saya, Mimi dan 3 orang penduduk di tepi danau mengingat jalur
pendakian sedang ditutup. Walaupun tidak, mungkin hanya akan ada beberapa
pendaki, tidak seperti di Ranu Kumbolo yang mencapai ratusan orang setiap
harinya. Danau yang sepi dan menenangkan!
Kami berdua
sempat ingin membuktikan mitos di Danau Taman Hidup karena hari masih cerah,
tapi tidak jadi. Mitosnya adalah saat orang berteriak di Danau ini, seketika
kabut akan turun. Katanya, kabut ini karena Dewi Rengganis marah. Ada yang mau
mencoba? Silakan saja. Menjelang siang, kabut tipis pun mulai turun ke danau. Semakin
siang, kabut semakin tebal. Jarak pandang kami berkurang, praktis kami tidak
bisa menikmati pemandangan lagi, hanya sejuk dingin butiran air dari kabut yang kami
rasakan.
Ikan yang
menyambar umpan kami semakin jarang. Akhirnya saya memutuskan untuk pindah
lokasi, sedangkan Mimi tidak. Saya pindah menuju tepi utara. Saat melintas di
saluran pembuangan air danau yang mengering, lagi-lagi saya melihat bekas roda.
Tapi bukan hanya roda yang saya lihat, jejak kaki kucing hutan juga ada (atau
anak macan?). Akhirnya
saya sampai di spot utara, dan hasilnya sama saja: nihil. Saya putuskan untuk
kembali ke dermaga dengan kabut yang menutup penglihatan. Saya ikuti saja bekas
roda yang ada. Hehehe.
Sampai di
dermaga, saya memasak mi untuk makan siang. Beberapa saat kemudian terdengar
teriakan tidak jelas dari manusia. Kami berdua mencoba menerka milik siapa
suara itu. Tidak mungkin suara itu berasal dari penduduk, untuk apa penduduk
yang setiap minggu naik ke Taman berteriak? Ya, kami berdua sepakat bahwa itu
adalah suara pendaki dan benar. Sepuluh orang pendaki dari Jakarta tiba di
Taman Hidup. Kami berbincang-bincang sekitar satu jam. Sekitar jam 1 siang saya
dan Mimi memutuskan untuk turun.
![]() |
Ikan tombro hasil buruan |
Pelajaran: Memancing
itu ibarat hidup (atau hidup itu ibarat memancing?) perlu perjuangan, perlu pengorbanan, perlu juga bersabar. Untuk mendapatkan hasil,
kita harus mengorbankan sesuatu yang kita miliki. Jer basuki mawa beya, ungkapan dalam bahasa Sanskerta yang juga menjadi
semboyan Provinsi Jawa Timur bermakna “untuk mencapai suatu kebahagiaan
diperlukan pengorbanan”.
Komentar
Posting Komentar