Puji syukur
kami panjatkan karena mendapatkan kesempatan kedua untuk berangkat menjamah jalur terpanjang se-pulau Jawa, Gunung Argopuro setelah kesempatan pertama harus
batal di pertengahan tahun lalu. Kami berlima (Saya, Bagus, Mimi, Kocol dan Mas
Domas) berangkat dari Terminal Bayuangga, Probolinggo, pukul 04.00 WIB dan
sampai di Pasar Besuki pukul 05.40 WIB. Setibanya di Besuki, kami mencari pick up yang akan membawa kami ke basecamp di Baderan. Alasan dipilihnya pick up bukan ojek karena untuk meminimalisir
biaya mengingat rombongan kami berjumlah 5 orang. Akhirnya pick up kami dapatkan setelah kurang lebih satu jam mencari dengan
harga 130 ribu. Untuk sekadar informasi, ojek menuju Baderan mematok harga
diatas 40 ribu. Berangkat. Waktu tempuh kurang lebih 1 jam karena jalan lumayan
menanjak. Kami nikmati perjalanan ini dengan melihat pemandangan sekitar.
Tiba di basecamp, kami mengurus simaksi. Kami
disuguhi camilan oleh petugas yang diberi oleh pendaki lain. Katanya hanya ada
2 pendaki yang naik hari ini asal Surabaya. Setelah ngobrol kesana kemari,
akhirnya kami memulai pendakian. Perjalanan panjang dimulai ketika kaki kami melintasi
tugu selamat datang. Jalan yang dilalui adalah jalan makadam. Kami sedikit
mengalami kendala di awal pendakian karena kondisi yang kurang prima. Waktu
perjalanan pun menjadi tersendat. Tidak lama setelah kami melewati batas makadam,
air Tuhan turun. Segera kami pasang jas hujan.
![]() |
Jalur pendakian saat mulai hujan |
Setelah
jalan makadam, jalur yang dilalui membentuk huruf “U” dikarenakan bekas roda
motor, entah motor siapa (mungkin ojek gunung). Perjalanan semakin berat karena
jalur pendakian mendadak menjadi aliran sungai disebabkan lebatnya hujan. Jalan
seperti itulah yang kami lalui selama ±5 jam sebelum sampai di pos mata air 1 dan
hujan tak kunjung berhenti. Sebenarnya tujuan kami adalah pos mata air 2 untuk
mendirikan tenda di hari pertama namun kondisi tidak memungkinkan. Lantas kami
mendirikan tenda di pos mata air 1. Setelah tenda berdiri, kami membersihkan
diri kemudian masak dan tidur.
Hari kedua,
kami diganggu dengan suara plastik sampah di luar tenda sekitar pukul 4. Bagus
yang mendengarnya pertama, kemudian membangunkan saya. Kami berdua mengira
adalah babi hutan namun ternyata adalah monyet. Ini saya ketahui saat saya
memberanikan diri membuka sedikit ritsleting tenda. Akhirnya kami lanjut tidur
lagi, pikir kami dia akan pergi dengan sendirinya.
Di luar
dugaan kami, saat kami benar-benar bangun pukul 6, dia masih ada di depan tenda
dan diperburuk lagi dengan hadirnya larva yang berjumlah jutaan (kami tidak
tahu larva apa, mungkin larva kelabang). Kami pun memasak sarapan di dalam
tenda, sambil menunggu si monyet pergi. Ternyata dia enggan pergi juga.
Tidak ingin
membuang waktu lebih banyak lagi, kami memberanikan diri keluar tenda dan
ternyata… ada 2 monyet. Beruntungnya, kedua monyet ini tidak menyerang, hanya
mencari makanan saja. Kami segera menjemur pakaian basah dan mengambil air.
Saat mengambil air di bawah, kurang lebih 50 meter, si monyet juga turun dan
lewat dengan sombongnya di depan kami. Jantung saya dan Kocol tak keruan. Belum
lagi saya mendengar teriakan dari atas, suara Mimi yang hampir digigit oleh
monyet yang lain. Di saat seperti inilah suasana semakin mencekam saja. Kami
mencoba tetap tenang dan bergegas memasukkan semua barang ke dalam ransel.
Perjalanan dilanjutkan.
Kami
berjalan dengan waspada, beberapa kali kami melihat ke belakang khawatir si
monyet masih mengikuti, ternyata tidak. Vegetasi di Gunung Argopuro masih
sangatlah rapat, sehingga yang dapat kami lihat hanya hutan dan hutan. Kondisi
inilah yang membuat suasananya agak mistis. Beberapa saat kemudian, kami sampai
di pos mata air 2, beristirahat sebentar sembari menjahit carrier Kocol yang sedikit robek. Setelah pos mata air 2, hujan
turun kembali.
Kami
melanjutkan perjalanan dengan langkah yang pasti. Sesekali bertemu penduduk
yang membawa karung berisi selada air dari Sungai Kalbu, Cikasur. Setelah cukup
lama, hujan akhirnya menjadi gerimis. Jalur pendakian pun menjadi licin. Di
jalur menurun, beberapa kali saya terjatuh. Tapi… tak lama setelah itu, mata
dan hati kami dimanjakan dengan terlihatnya sabana pertama. Kami bergegas
menuju tengah sabana itu yang terdapat pohon dan kemudian istirahat.
Perjalanan
kami lanjutkan kembali untuk menuju Cikasur. Tak lama berselang, hujan turun
kembali. Kami memasuki hutan lagi. Ditemani kabut, kami terus berjalan. Tapi
tak lama setelah itu, sabana terlihat lagi, kami semakin semangat. Di sabana
ke-II, saya dan Mimi melepas jas hujan karena hujan nampaknya sudah reda, tapi
yang lain tidak. Setelah sabana ke-II, kami melewati beberapa sabana. Terlihat
banyak pohon edelweiss di beberapa
titik, namun sayang belum ada bunga yang tampak karena masih musim hujan. Edelweiss akan berbunga saat musim
kemarau, saat mendapat sinar matahari yang cukup.
Setelah
melewati beberapa sabana, tibalah kami di jalur menurun sebelum Cikasur. Di
jalur ini tanahnya sangat licin sehingga membuat kami kadang terjatuh. Tapi
setelah itu… terlihat aliran sungai yang hijau permukaannya karena selada air,
Sungai Kalbu namanya. Aliran ini juga yang menandakan bahwa kami sudah sampai
di Cikasur. Segera kami menyeberangi sungai yang dingin (atau segar?) ini untuk
sampai di tempat pendirian tenda di bawah pohon di tengah sabana.
Sekitar
setengah 6 petang kami sampai. Seperti biasa, setelah tenda berdiri kami membersihkan
diri, masak dan tidur. Kenapa kami segera tidur walau jam masih menunjukkan
pukul 7? Karena takut akan cerita mistisnya Cikasur yang kami baca sebelum
pendakian. Hehehe. Cikasur sendiri merupakan bekas landasan udara milik Belanda
yang konon dibangun dengan banyak darah rakyat Indonesia. Jadi, penduduk
disuruh mendirikan landasan terbang, tapi setelah itu dibantai untuk
menghindari tersebarnya berita bahwa ada landasan udara di Cikasur. Sampai
sekarang masih ada bekas bangunan landasan udara tersebut.
Hari ketiga,
kami dibangunkan oleh suara-suara unggas. Saya dan Mimi segera keluar, kami
pikir itu adalah suara merak. Saya bersemangat mencari sumber suara itu karena
kami masih belum bertemu merak. Tapi ternyata, bukan merak yang kami temui
melainkan ayam hutan yang bertengger di atas pohon. Tapi perlu diketahui, suara
ayam hutan sangat beda dengan suara ayam desa, kota apalagi ayam kampus. Maka
dari itu kami terkecoh. Akhirnya kami berdua mengambil beberapa foto sambil
menunggu kawan yang lain bangun.
![]() |
Mas Domas di Sungai Kalbu, Cikasur |
Pukul 6 pagi, kami
menuju Sungai Kalbu untuk membersihkan diri, mengambil air, membersihkan alat
makan sisa semalam dan tentunya panen selada air untuk dijadikan pecel. Di
aliran sungai ini pula ada tanaman jancukan. Apabila terkena tanaman ini, akan timbul rasa gatal dan panas yang menyengat. Hati-hati. Segera kami kembali ke
tenda untuk memasak.
Di sabana
maha luas ini, kami bertemu dengan kedua pendaki asal Surabaya. Saat kami masih
masak, mereka sudah melanjutkan perjalanan. Target kami adalah meninggalkan
Cikasur pada pukul 10 pagi, tapi ada aura kemalasan yang menghambat kami hingga
kami keluar dari Cikasur pukul 11. Di atas Cikasur, terlihat jelas relief bekas
landasan udara milik Belanda. Sangat indah.
![]() |
Bekas bangunan milik Belanda dan juga toilet tak berguna |
Setelah
Cikasur, jalur pendakian sedikit samar karena tertutup oleh rumput ilalang yang
tebal. Tak lama setelah itu, hujan turun kembali. Kami sudah mulai terbiasa
dengan ini. Gunung Argopuro memang gunung basah, apalagi sekarang memang musim
hujan.
Kemudian
kami mulai memasuki hutan kembali. Di jalur pendakian ini terdapat banyak
tanaman jancukan, perhatikan langkah kalian. Beberapa kali kami melihat lutung
hitam yang berada di atas pohon. Setelah itu kami menyeberangi aliran sungai
lagi, barulah setelah itu kami tiba di Cisentor.
Di Cisentor
kami bertemu dengan pendaki asal Surabaya lagi, sepertinya mereka bermalam di
Cisentor karena terlihat tenda mereka berdiri. Kami beristirahat sebentar dan
melanjutkan perjalanan. Target kami adalah sampai di sabana Lonceng untuk
bermalam. Jalur pendakian kembali menanjak setelah Cisentor.
Beberapa
saat kemudian, kami sampai di Rawa Embik. Di Rawa Embik terjadi badai angin
yang membuat kami menggigil kedinginan. Dengan segera kami mengisi air karena
di sabana Lonceng tidak ada sumber air. Tidak ingin menggigil terlalu lama,
kami melanjutkan perjalanan. Dan… tidak disangka, kami bertemu dengan 3 merak
di atas Rawa Embik. Sungguh istimewa gunung yang satu ini.
Kami
kemudian melewati hutan dengan pohon yang mati menghitam, bekas terbakar. Ketangguhan
fisik kami benar-benar diuji di Gunung Argopuro. Hari semakin sore dan gelap,
hujan belum juga reda dan sabana Lonceng masih jauh. Di saat inilah hidung saya
mulai menjadi dingin dan otak saya tidak ingin berpikir apa-apa lagi selain
sampai di tempat camp dan tidur.
Akhirnya pukul setengah 7, kami tiba di sabana Lonceng. Segera kami mendirikan
tenda, membersihkan diri, dan ganti pakaian.
Saat saya
hendak menggantung pakaian basah, pikiran saya benar-benar tak keruan. Saya
memikirkan bahwa akan melihat makhluk halus, tapi ternyata tidak, syukurlah.
Perlu diketahui, semalam saat di Cikasur sebelum tidur, Mimi menceritakan bahwa
sabana Lonceng adalah tempat parkir kendaraan sang Dewi penghuni dataran tinggi
Hyang, Dewi Rengganis. Katanya, di sabana Lonceng kadang terdengar suara
lonceng yang berasal dari kendaraan sang dewi, dari situ sabana ini dinamakan
sabana Lonceng. Setelah itu, saya kembali ke tenda untuk masak bersama Bagus,
sementara yang lain tidur.
Di sini,
saya mendapat pelajaran tentang masak. Saat menumis sayur tidak perlu banyak
air, tapi yang saya lakukan memberi air terlalu banyak sehingga bukan jadi
sayur tumis. Hehehe. Tapi saya punya alasan lain memberi air banyak, agar
menjadi kuah yang bisa menghangatkan tubuh kita yang sudah melewati batas
dingin. Setelah itu, kami tidur dengan harapan tidak mendengar suara lonceng.
Hehehe.
Hari
keempat, pukul 5 pagi kami bangun untuk mengejar sunrise di puncak Rengganis. Dari
Lonceng menuju puncak Rengganis, hanya memerlukan waktu ±15 menit. Di sepanjang
perjalanan, begitu banyak pohon edelweiss
yang hanya beberapa terlihat bunganya yang masih belum mekar. Akhirnya kami
tiba di puncak Rengganis.
![]() |
Situs sejarah, bekas kerajaan Dewi Rengganis |
Dari puncak
Rengganis, terlihat puncak Argopuro dan puncak Arca yang berdampingan di sisi
barat, Gunung Raung juga dengan gagah berdiri di sisi timur, sementara matahari
bersinar malu diantara awan. Dari atas juga terlihat bekas kerajaan Dewi
Rengganis yang ada di sisi utara. Saat turun kami menyempatkan berziarah ke
makam sang dewi. Kemudian kembali ke tenda.
![]() |
Mimi di Puncak Rengganis, background Puncak Argopuro (kanan) dan Puncak Arca (kiri) |
Sebelum
melanjutkan perjalanan, kami masak sarapan terlebih dahulu baru kemudian
membereskan semua. Di sabana Lonceng ini kami sedikit santai, terlihat langit
cerah, Alhamdulillah. Saat seperti inilah kami mensyukuri cahaya matahari
setelah 3 hari berturut-turut tubuh kami dibasahi air hujan. Saat membereskan
barang, kedua pendaki asal Surabaya mendahului kami untuk sampai di puncak
Argopuro.
Sekitar
pukul 10 pagi, dengan carrier di
pundak kami menuju puncak karena kami tidak akan kembali ke sabana Lonceng,
melainkan melanjutkan perjalanan ke Desa Bremi, Basecamp Kabupaten Probolinggo. Sekitar 25 menit kami berjalan
naik, puncak Argopuro sudah kami tapaki. Di sini lagi-lagi kami bertemu dengan
pendaki asal Surabaya, dan mereka memberi kami sepotong apel, segar rasanya.
Terima kasih. Di puncak Argopuro ini juga kami mengetahui bahwa nama kedua
pendaki ini adalah Kares dan Irul. Kami bercengkerama satu sama lain, mengambil
foto dan kemudian melanjutkan perjalanan.
![]() |
Puncak Argopuro |
![]() |
Bagus di Puncak Arca |
Perjalanan
dilanjutkan menuju puncak Arca (puncak Hyang). Jalan menurun yang agak curam
kami lalui sebelum sampai di puncak Arca. Waktu tempuh dari puncak Argopuro
menuju puncak Arca sekitar 10 menit. Kami hanya sebentar di sini, sekadar
mengambil foto kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
Jalur pulang
adalah jalur menurun penuh belukar yang cukup terjal yang membuat lutut kami
sedikit gemetar karena menahan beban. Kami melewati Cemoro Limo, melewati hutan
lumut dan kemudian sampai di Taman Hidup. Di Taman Hidup ini kami bertemu dengan
beberapa rombongan pendaki asal Jawa Barat. Kami diberi satu porsi nasi goreng.
Sungguh enak rasanya. Terima kasih.
Tak ingin
buang waktu sia-sia, segera kami menuju danau walaupun jalurnya becek karena
air danau sedang naik. Tanggung kalau sampai di Taman Hidup, tapi tidak ke
danaunya. Kami mengambil beberapa foto dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Kami tidak berencana mendirikan tenda di Taman Hidup, tujuan kami adalah sampai
di rumah Mimi di Bremi.
![]() |
Kocol di Danau Taman Hidup |
Setelah
Taman Hidup, jalur yang kami lalui adalah jalur berkelok-kelok yang sedikit
hancur sehingga menyulitkan langkah kami. Beruntung tidak turun hujan. Matahari
akan segera tenggelam sementara kami masih berada di hutan. Kami sempat putus
asa karena tak kunjung melihat cahaya lampu dari desa.
Akhirnya
kami sampai di ladang warga pertanda sudah dekat dengan desa. Air kami habis,
tidak sempat mengisi di Danau Taman Hidup, dan bukan kebetulan di sebelah kami
ada aliran irigasi. Apa yang dilakukan? Ya, minum air irigasi langsung, tapi
tenang airnya masih jernih. Akhirnya sekitar pukul 8 malam kami sampai di rumah
Mimi. Makan dan minum susu sapi asli, dan kemudian tidur.
Pagi pukul 6
kami pulang menumpangi bus mini, berhenti di KUD Argopuro untuk membeli susu
sapi. Setelah ±1 jam kami sampai di Pajarakan, dan kami berpisah di sini.
Perjalanan panjang kami berakhir, tapi ceritanya akan tetap ada, di sini, di tulisan
ini.
Catatan perjalanan:
Terminal Bayuangga, Probolinggo-Pasar Besuki = 1 jam 40 menit
Pasar Besuki-Basecamp = 1 jam
Basecamp-Pos Mata Air 1 = 8 jam 30 menit
Pos Mata Air 1-Cikasur = 7 jam 30 menit
Cikasur-Sabana Lonceng = 6 jam 45 menit
Lonceng-Puncak Rengganis = 15 menit
Lonceng-Puncak Argopuro = 25 menit
Puncak Argopuro-Puncak Arca = 10 menit
Puncak Arca-Taman Hidup = 4 jam 17 menit
Taman Hidup-Bremi = 3 jam 30 menit
*catatan: foto diambil dari kamera Mimi
Komentar
Posting Komentar