Langsung ke konten utama

Sebuah Catatan: Argopuro 3.088 MDPL, 5-8 Januari 2018.


Puji syukur kami panjatkan karena mendapatkan kesempatan kedua untuk berangkat menjamah jalur terpanjang se-pulau Jawa, Gunung Argopuro setelah kesempatan pertama harus batal di pertengahan tahun lalu. Kami berlima (Saya, Bagus, Mimi, Kocol dan Mas Domas) berangkat dari Terminal Bayuangga, Probolinggo, pukul 04.00 WIB dan sampai di Pasar Besuki pukul 05.40 WIB. Setibanya di Besuki, kami mencari pick up yang akan membawa kami ke basecamp di Baderan. Alasan dipilihnya pick up bukan ojek karena untuk meminimalisir biaya mengingat rombongan kami berjumlah 5 orang. Akhirnya pick up kami dapatkan setelah kurang lebih satu jam mencari dengan harga 130 ribu. Untuk sekadar informasi, ojek menuju Baderan mematok harga diatas 40 ribu. Berangkat. Waktu tempuh kurang lebih 1 jam karena jalan lumayan menanjak. Kami nikmati perjalanan ini dengan melihat pemandangan sekitar.

Tiba di basecamp, kami mengurus simaksi. Kami disuguhi camilan oleh petugas yang diberi oleh pendaki lain. Katanya hanya ada 2 pendaki yang naik hari ini asal Surabaya. Setelah ngobrol kesana kemari, akhirnya kami memulai pendakian. Perjalanan panjang dimulai ketika kaki kami melintasi tugu selamat datang. Jalan yang dilalui adalah jalan makadam. Kami sedikit mengalami kendala di awal pendakian karena kondisi yang kurang prima. Waktu perjalanan pun menjadi tersendat. Tidak lama setelah kami melewati batas makadam, air Tuhan turun. Segera kami pasang jas hujan.

Jalur pendakian saat mulai hujan
Setelah jalan makadam, jalur yang dilalui membentuk huruf “U” dikarenakan bekas roda motor, entah motor siapa (mungkin ojek gunung). Perjalanan semakin berat karena jalur pendakian mendadak menjadi aliran sungai disebabkan lebatnya hujan. Jalan seperti itulah yang kami lalui selama ±5 jam sebelum sampai di pos mata air 1 dan hujan tak kunjung berhenti. Sebenarnya tujuan kami adalah pos mata air 2 untuk mendirikan tenda di hari pertama namun kondisi tidak memungkinkan. Lantas kami mendirikan tenda di pos mata air 1. Setelah tenda berdiri, kami membersihkan diri kemudian masak dan tidur.

Hari kedua, kami diganggu dengan suara plastik sampah di luar tenda sekitar pukul 4. Bagus yang mendengarnya pertama, kemudian membangunkan saya. Kami berdua mengira adalah babi hutan namun ternyata adalah monyet. Ini saya ketahui saat saya memberanikan diri membuka sedikit ritsleting tenda. Akhirnya kami lanjut tidur lagi, pikir kami dia akan pergi dengan sendirinya.

Di luar dugaan kami, saat kami benar-benar bangun pukul 6, dia masih ada di depan tenda dan diperburuk lagi dengan hadirnya larva yang berjumlah jutaan (kami tidak tahu larva apa, mungkin larva kelabang). Kami pun memasak sarapan di dalam tenda, sambil menunggu si monyet pergi. Ternyata dia enggan pergi juga.

Penghuni Pos Mata Air 1
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, kami memberanikan diri keluar tenda dan ternyata… ada 2 monyet. Beruntungnya, kedua monyet ini tidak menyerang, hanya mencari makanan saja. Kami segera menjemur pakaian basah dan mengambil air. Saat mengambil air di bawah, kurang lebih 50 meter, si monyet juga turun dan lewat dengan sombongnya di depan kami. Jantung saya dan Kocol tak keruan. Belum lagi saya mendengar teriakan dari atas, suara Mimi yang hampir digigit oleh monyet yang lain. Di saat seperti inilah suasana semakin mencekam saja. Kami mencoba tetap tenang dan bergegas memasukkan semua barang ke dalam ransel. Perjalanan dilanjutkan.

Kami berjalan dengan waspada, beberapa kali kami melihat ke belakang khawatir si monyet masih mengikuti, ternyata tidak. Vegetasi di Gunung Argopuro masih sangatlah rapat, sehingga yang dapat kami lihat hanya hutan dan hutan. Kondisi inilah yang membuat suasananya agak mistis. Beberapa saat kemudian, kami sampai di pos mata air 2, beristirahat sebentar sembari menjahit carrier Kocol yang sedikit robek. Setelah pos mata air 2, hujan turun kembali.

Kami melanjutkan perjalanan dengan langkah yang pasti. Sesekali bertemu penduduk yang membawa karung berisi selada air dari Sungai Kalbu, Cikasur. Setelah cukup lama, hujan akhirnya menjadi gerimis. Jalur pendakian pun menjadi licin. Di jalur menurun, beberapa kali saya terjatuh. Tapi… tak lama setelah itu, mata dan hati kami dimanjakan dengan terlihatnya sabana pertama. Kami bergegas menuju tengah sabana itu yang terdapat pohon dan kemudian istirahat.

Perjalanan kami lanjutkan kembali untuk menuju Cikasur. Tak lama berselang, hujan turun kembali. Kami memasuki hutan lagi. Ditemani kabut, kami terus berjalan. Tapi tak lama setelah itu, sabana terlihat lagi, kami semakin semangat. Di sabana ke-II, saya dan Mimi melepas jas hujan karena hujan nampaknya sudah reda, tapi yang lain tidak. Setelah sabana ke-II, kami melewati beberapa sabana. Terlihat banyak pohon edelweiss di beberapa titik, namun sayang belum ada bunga yang tampak karena masih musim hujan. Edelweiss akan berbunga saat musim kemarau, saat mendapat sinar matahari yang cukup.

Setelah melewati beberapa sabana, tibalah kami di jalur menurun sebelum Cikasur. Di jalur ini tanahnya sangat licin sehingga membuat kami kadang terjatuh. Tapi setelah itu… terlihat aliran sungai yang hijau permukaannya karena selada air, Sungai Kalbu namanya. Aliran ini juga yang menandakan bahwa kami sudah sampai di Cikasur. Segera kami menyeberangi sungai yang dingin (atau segar?) ini untuk sampai di tempat pendirian tenda di bawah pohon di tengah sabana.

Sekitar setengah 6 petang kami sampai. Seperti biasa, setelah tenda berdiri kami membersihkan diri, masak dan tidur. Kenapa kami segera tidur walau jam masih menunjukkan pukul 7? Karena takut akan cerita mistisnya Cikasur yang kami baca sebelum pendakian. Hehehe. Cikasur sendiri merupakan bekas landasan udara milik Belanda yang konon dibangun dengan banyak darah rakyat Indonesia. Jadi, penduduk disuruh mendirikan landasan terbang, tapi setelah itu dibantai untuk menghindari tersebarnya berita bahwa ada landasan udara di Cikasur. Sampai sekarang masih ada bekas bangunan landasan udara tersebut.

Hari ketiga, kami dibangunkan oleh suara-suara unggas. Saya dan Mimi segera keluar, kami pikir itu adalah suara merak. Saya bersemangat mencari sumber suara itu karena kami masih belum bertemu merak. Tapi ternyata, bukan merak yang kami temui melainkan ayam hutan yang bertengger di atas pohon. Tapi perlu diketahui, suara ayam hutan sangat beda dengan suara ayam desa, kota apalagi ayam kampus. Maka dari itu kami terkecoh. Akhirnya kami berdua mengambil beberapa foto sambil menunggu kawan yang lain bangun.

Mas Domas di Sungai Kalbu, Cikasur
Pukul 6 pagi, kami menuju Sungai Kalbu untuk membersihkan diri, mengambil air, membersihkan alat makan sisa semalam dan tentunya panen selada air untuk dijadikan pecel. Di aliran sungai ini pula ada tanaman jancukan. Apabila terkena tanaman ini, akan timbul rasa gatal dan panas yang menyengat. Hati-hati. Segera kami kembali ke tenda untuk memasak.

Di sabana maha luas ini, kami bertemu dengan kedua pendaki asal Surabaya. Saat kami masih masak, mereka sudah melanjutkan perjalanan. Target kami adalah meninggalkan Cikasur pada pukul 10 pagi, tapi ada aura kemalasan yang menghambat kami hingga kami keluar dari Cikasur pukul 11. Di atas Cikasur, terlihat jelas relief bekas landasan udara milik Belanda. Sangat indah.


Bekas bangunan milik Belanda dan juga toilet tak berguna

Setelah Cikasur, jalur pendakian sedikit samar karena tertutup oleh rumput ilalang yang tebal. Tak lama setelah itu, hujan turun kembali. Kami sudah mulai terbiasa dengan ini. Gunung Argopuro memang gunung basah, apalagi sekarang memang musim hujan.

Kemudian kami mulai memasuki hutan kembali. Di jalur pendakian ini terdapat banyak tanaman jancukan, perhatikan langkah kalian. Beberapa kali kami melihat lutung hitam yang berada di atas pohon. Setelah itu kami menyeberangi aliran sungai lagi, barulah setelah itu kami tiba di Cisentor.

Di Cisentor kami bertemu dengan pendaki asal Surabaya lagi, sepertinya mereka bermalam di Cisentor karena terlihat tenda mereka berdiri. Kami beristirahat sebentar dan melanjutkan perjalanan. Target kami adalah sampai di sabana Lonceng untuk bermalam. Jalur pendakian kembali menanjak setelah Cisentor.

Beberapa saat kemudian, kami sampai di Rawa Embik. Di Rawa Embik terjadi badai angin yang membuat kami menggigil kedinginan. Dengan segera kami mengisi air karena di sabana Lonceng tidak ada sumber air. Tidak ingin menggigil terlalu lama, kami melanjutkan perjalanan. Dan… tidak disangka, kami bertemu dengan 3 merak di atas Rawa Embik. Sungguh istimewa gunung yang satu ini.

Kami kemudian melewati hutan dengan pohon yang mati menghitam, bekas terbakar. Ketangguhan fisik kami benar-benar diuji di Gunung Argopuro. Hari semakin sore dan gelap, hujan belum juga reda dan sabana Lonceng masih jauh. Di saat inilah hidung saya mulai menjadi dingin dan otak saya tidak ingin berpikir apa-apa lagi selain sampai di tempat camp dan tidur. Akhirnya pukul setengah 7, kami tiba di sabana Lonceng. Segera kami mendirikan tenda, membersihkan diri, dan ganti pakaian.

Saat saya hendak menggantung pakaian basah, pikiran saya benar-benar tak keruan. Saya memikirkan bahwa akan melihat makhluk halus, tapi ternyata tidak, syukurlah. Perlu diketahui, semalam saat di Cikasur sebelum tidur, Mimi menceritakan bahwa sabana Lonceng adalah tempat parkir kendaraan sang Dewi penghuni dataran tinggi Hyang, Dewi Rengganis. Katanya, di sabana Lonceng kadang terdengar suara lonceng yang berasal dari kendaraan sang dewi, dari situ sabana ini dinamakan sabana Lonceng. Setelah itu, saya kembali ke tenda untuk masak bersama Bagus, sementara yang lain tidur.

Di sini, saya mendapat pelajaran tentang masak. Saat menumis sayur tidak perlu banyak air, tapi yang saya lakukan memberi air terlalu banyak sehingga bukan jadi sayur tumis. Hehehe. Tapi saya punya alasan lain memberi air banyak, agar menjadi kuah yang bisa menghangatkan tubuh kita yang sudah melewati batas dingin. Setelah itu, kami tidur dengan harapan tidak mendengar suara lonceng. Hehehe.

Hari keempat, pukul 5 pagi kami bangun untuk mengejar sunrise di puncak Rengganis. Dari Lonceng menuju puncak Rengganis, hanya memerlukan waktu ±15 menit. Di sepanjang perjalanan, begitu banyak pohon edelweiss yang hanya beberapa terlihat bunganya yang masih belum mekar. Akhirnya kami tiba di puncak Rengganis.
Situs sejarah, bekas kerajaan Dewi Rengganis
Dari puncak Rengganis, terlihat puncak Argopuro dan puncak Arca yang berdampingan di sisi barat, Gunung Raung juga dengan gagah berdiri di sisi timur, sementara matahari bersinar malu diantara awan. Dari atas juga terlihat bekas kerajaan Dewi Rengganis yang ada di sisi utara. Saat turun kami menyempatkan berziarah ke makam sang dewi. Kemudian kembali ke tenda.

Mimi di Puncak Rengganis,
background Puncak Argopuro (kanan) dan Puncak Arca (kiri)

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami masak sarapan terlebih dahulu baru kemudian membereskan semua. Di sabana Lonceng ini kami sedikit santai, terlihat langit cerah, Alhamdulillah. Saat seperti inilah kami mensyukuri cahaya matahari setelah 3 hari berturut-turut tubuh kami dibasahi air hujan. Saat membereskan barang, kedua pendaki asal Surabaya mendahului kami untuk sampai di puncak Argopuro.

Sekitar pukul 10 pagi, dengan carrier di pundak kami menuju puncak karena kami tidak akan kembali ke sabana Lonceng, melainkan melanjutkan perjalanan ke Desa Bremi, Basecamp Kabupaten Probolinggo. Sekitar 25 menit kami berjalan naik, puncak Argopuro sudah kami tapaki. Di sini lagi-lagi kami bertemu dengan pendaki asal Surabaya, dan mereka memberi kami sepotong apel, segar rasanya. Terima kasih. Di puncak Argopuro ini juga kami mengetahui bahwa nama kedua pendaki ini adalah Kares dan Irul. Kami bercengkerama satu sama lain, mengambil foto dan kemudian melanjutkan perjalanan.

Puncak Argopuro
Bagus di Puncak Arca
Perjalanan dilanjutkan menuju puncak Arca (puncak Hyang). Jalan menurun yang agak curam kami lalui sebelum sampai di puncak Arca. Waktu tempuh dari puncak Argopuro menuju puncak Arca sekitar 10 menit. Kami hanya sebentar di sini, sekadar mengambil foto kemudian melanjutkan perjalanan pulang. 

Jalur pulang adalah jalur menurun penuh belukar yang cukup terjal yang membuat lutut kami sedikit gemetar karena menahan beban. Kami melewati Cemoro Limo, melewati hutan lumut dan kemudian sampai di Taman Hidup. Di Taman Hidup ini kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki asal Jawa Barat. Kami diberi satu porsi nasi goreng. Sungguh enak rasanya. Terima kasih.

Tak ingin buang waktu sia-sia, segera kami menuju danau walaupun jalurnya becek karena air danau sedang naik. Tanggung kalau sampai di Taman Hidup, tapi tidak ke danaunya. Kami mengambil beberapa foto dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kami tidak berencana mendirikan tenda di Taman Hidup, tujuan kami adalah sampai di rumah Mimi di Bremi.

Kocol di Danau Taman Hidup
Setelah Taman Hidup, jalur yang kami lalui adalah jalur berkelok-kelok yang sedikit hancur sehingga menyulitkan langkah kami. Beruntung tidak turun hujan. Matahari akan segera tenggelam sementara kami masih berada di hutan. Kami sempat putus asa karena tak kunjung melihat cahaya lampu dari desa.


Akhirnya kami sampai di ladang warga pertanda sudah dekat dengan desa. Air kami habis, tidak sempat mengisi di Danau Taman Hidup, dan bukan kebetulan di sebelah kami ada aliran irigasi. Apa yang dilakukan? Ya, minum air irigasi langsung, tapi tenang airnya masih jernih. Akhirnya sekitar pukul 8 malam kami sampai di rumah Mimi. Makan dan minum susu sapi asli, dan kemudian tidur.

Pagi pukul 6 kami pulang menumpangi bus mini, berhenti di KUD Argopuro untuk membeli susu sapi. Setelah ±1 jam kami sampai di Pajarakan, dan kami berpisah di sini. Perjalanan panjang kami berakhir, tapi ceritanya akan tetap ada, di sini, di tulisan ini.

Catatan perjalanan:
Terminal Bayuangga, Probolinggo-Pasar Besuki = 1 jam 40 menit
Pasar Besuki-Basecamp = 1 jam
Basecamp-Pos Mata Air 1 = 8 jam 30 menit
Pos Mata Air 1-Cikasur = 7 jam 30 menit
Cikasur-Sabana Lonceng = 6 jam 45 menit
Lonceng-Puncak Rengganis = 15 menit 
Lonceng-Puncak Argopuro = 25 menit
Puncak Argopuro-Puncak Arca = 10 menit
Puncak Arca-Taman Hidup = 4 jam 17 menit
Taman Hidup-Bremi = 3 jam 30 menit

*catatan: foto diambil dari kamera Mimi



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Catatan: Mancing di Danau Taman Hidup, 12 Agustus 2018.

Seminggu menjelang libur panjang kuliah berakhir, saya dan Mimi menyempatkan untuk memancing di Danau Taman Hidup, Gunung Argopuro (orang Bremi menyebutnya Taman).             Saya berangkat tanggal 11 pukul setengah 5 sore dan sampai di rumah Mimi di desa Bremi sekitar pukul setengah 6. Kemudian makan malam dan membenarkan pancing untuk esok hari. Sekitar jam 11 malam saya tidur. Pukul setengah 4 bangun. Memasukkan segala perlengkapan dan bekal ke dalam daypack. Pukul setengah 5 kami berangkat. Perjalanan dimulai.             Tidak jauh kami melangkah, sekitar 200 meter dari rumah, kami melihat cahaya berwarna merah seperti bintang jatuh yang menghilang begitu saja. Untuk dikatakan bintang jatuh, cahaya itu terlalu kecil. Kalau kata orang-orang, cahaya itu berasal dari ilmu santet. Ada pendapat lain? Kami terus melangkah melewati ladang warga.    ...

Kenapa di Tempat Wisata Alam Ada Larangan Memberi Makan Satwa?

         Pernah enggak kalian main ke tempat wisata alam terus  nemu  plakat larangan memberi makan satwa? Aku pas solo trip beberapa waktu lalu  nemu  larangan itu di Pantai Batu, pantai yang dilewati sebelum ke Teluk Ijo, Banyuwangi, masuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Tapi, sebetulnya kenapa kita dilarang  mberi  makan satwa? Setahuku, sih, dua ini (sok tahu juga, sih). 1. Bisa Mengubah Perilaku Mereka      Alasan pertama dan mungkin utama adalah karena bisa mengubah perilaku mereka. Mereka jadi enggak takut lagi ke manusia. Terbiasa diberi makan oleh manusia mereka akhirnya jadi manja. Kalau sudah manja, tahu apa yang terjadi selanjutnya kalau enggak dikasih makan dan sudah enggak takut lagi ke manusia? Sepengalamanku di Gunung Argopuro sama Gunung Butak, dalam kasus ini monyet, mereka bisa mengancam dengan seringai yang menakutkan, bahkan nih ya mereka bisa  nyolong  makanan yang kita bawa....

Bukan Puisi: Taman

Taman Hidup                         “Selamat datang di Taman Hidup!”             Mungkin itu yang akan terdengar             Andai saja ia benar-benar hidup             Dan dapat berucap Damai, Sunyi, Sepi Akan kita dapati di tempat ini Bagaimana tidak? Hanya ada beberapa pendaki di sini Tak seperti danau di gunung sebelah Yang ramainya bagai pasar Belum lagi merdu kicau burung Yang bersambut Seiring munculnya mentari pagi Ingin rasanya berlama-lama di sini Tapi mau bagaimana lagi Pekerjaan di bawah sudah menanti Nasib…                                    ...