Langsung ke konten utama

Kenapa di Tempat Wisata Alam Ada Larangan Memberi Makan Satwa?


       Pernah enggak kalian main ke tempat wisata alam terus nemu plakat larangan memberi makan satwa? Aku pas solo trip beberapa waktu lalu nemu larangan itu di Pantai Batu, pantai yang dilewati sebelum ke Teluk Ijo, Banyuwangi, masuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Tapi, sebetulnya kenapa kita dilarang mberi makan satwa? Setahuku, sih, dua ini (sok tahu juga, sih).

1. Bisa Mengubah Perilaku Mereka
    Alasan pertama dan mungkin utama adalah karena bisa mengubah perilaku mereka. Mereka jadi enggak takut lagi ke manusia. Terbiasa diberi makan oleh manusia mereka akhirnya jadi manja. Kalau sudah manja, tahu apa yang terjadi selanjutnya kalau enggak dikasih makan dan sudah enggak takut lagi ke manusia? Sepengalamanku di Gunung Argopuro sama Gunung Butak, dalam kasus ini monyet, mereka bisa mengancam dengan seringai yang menakutkan, bahkan nih ya mereka bisa nyolong makanan yang kita bawa.
    Di Teluk Ijo monyetnya banyak, mungkin ratusan (pasnya berapa enggak tahu, belum nyensus). Untungnya, untungnya nih, monyetnya masih takut sama aku (manusia). Pas mereka lihat aku, tak lihat balik mereka langsung lari. Nah, larinya gara-gara takut sama mukaku atau naluri alaminya masih terjaga aku enggak tahu. Wkwk.

2. Mereka Bisa Nyari Makan Sendiri
    Sadarlah hai manusia! Mereka bisa bertahan hidup tanpa kita, tanpa makanan dari kita (yang penting habitatnya terjaga aja sih. Wkwk). Kalau enggak bisa bertahan hidup, kita ya enggak akan bertemu mereka.
    Nah, daripada diberikan ke satwa liar, mending makanannya ya dimakan kita sendiri aja kata Ekik. Kalau satwanya kita kasih makanan kita, terus makanan kita habis, memangnya kita mau makan makanan satwa? Dedaunan misalnya. Enggak kan? Hehehe.

    Buat siapa aja yang mbaca tulisan ini dan di hari kemudian main ke tempat wisata alam, awas aja masih ngasih makan satwa liar!

 

Rumah, 27 Jan 2021

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Catatan: Mancing di Danau Taman Hidup, 12 Agustus 2018.

Seminggu menjelang libur panjang kuliah berakhir, saya dan Mimi menyempatkan untuk memancing di Danau Taman Hidup, Gunung Argopuro (orang Bremi menyebutnya Taman).             Saya berangkat tanggal 11 pukul setengah 5 sore dan sampai di rumah Mimi di desa Bremi sekitar pukul setengah 6. Kemudian makan malam dan membenarkan pancing untuk esok hari. Sekitar jam 11 malam saya tidur. Pukul setengah 4 bangun. Memasukkan segala perlengkapan dan bekal ke dalam daypack. Pukul setengah 5 kami berangkat. Perjalanan dimulai.             Tidak jauh kami melangkah, sekitar 200 meter dari rumah, kami melihat cahaya berwarna merah seperti bintang jatuh yang menghilang begitu saja. Untuk dikatakan bintang jatuh, cahaya itu terlalu kecil. Kalau kata orang-orang, cahaya itu berasal dari ilmu santet. Ada pendapat lain? Kami terus melangkah melewati ladang warga.    ...

Bukan Puisi: Taman

Taman Hidup                         “Selamat datang di Taman Hidup!”             Mungkin itu yang akan terdengar             Andai saja ia benar-benar hidup             Dan dapat berucap Damai, Sunyi, Sepi Akan kita dapati di tempat ini Bagaimana tidak? Hanya ada beberapa pendaki di sini Tak seperti danau di gunung sebelah Yang ramainya bagai pasar Belum lagi merdu kicau burung Yang bersambut Seiring munculnya mentari pagi Ingin rasanya berlama-lama di sini Tapi mau bagaimana lagi Pekerjaan di bawah sudah menanti Nasib…                                    ...